Monday, August 3, 2009

GIGITANTAN ULAR BERBISA

GIGITAN ULAR BERBISA

Ular merupakan salah satu jenis hewan melata (reptilia) yang sangat umum berada di sekitar kita. Mereka menghuni hampir sebagian besar wilayah mulai kawasan pegunungan, pemukiman penduduk, persawahan, kawasan karst hingga di sekitar kawasan pesisir. Peran mereka yang penting dalam menjaga keseimbangan di alam (ekosistem) menjadikan penting bagi kita untuk mengetahui lebih jauh mengenai jenis hewan ini.

Beberapa jenis ular dikenal berbahaya bagi manusia karena “bisa” (venom) yang mereka miliki. Banyak kasus gigitan ular yang berakibat fatal telah tercatat di berbagai wilayah di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini. Fakta ini mengakibatkan image yang buruk mengenai ular. Banyak yang menganggap bahwa semua ular berbisa, sehingga kebanyakan orang akan takut saat berjumpa dengan ular. Faktanya, hanya ular berbisa dan hanya sebagian dari kelompok ular tersebut yang mematikan bagi manusia. Oleh karenanya, kami menekankan pentingnya pengenalan jenis – jenis ular, baik yang berbisa maupun yang tidak. Diharapkan masyarakat menjadi lebih sadar dan mengerti sehingga tidak membunuhi mereka dengan membabi buta. Semoga kita menjadi lebih bijaksana dalam bertindak ketika menangani hewan ini. Oleh karena hal tersebut selanjutnya nanti akan dijelaskan sedikit mengenai membedakan ular yang berbisa dan tidak berbisa.

Kebanyakan orang membedakan ular berbisa dan tidak (berbisa) dari warna tubuhnya, bentuk tubuh, atau bentuk kepalanya yang segitiga serta gerakannya yang lambat. Akan tetapi cara ini tidak sepenuhnya berlaku untuk semua jenis ular. Banyak jenis ular yang tidak memiliki bentuk kepala segitiga tetapi memiliki bisa yang sangat kuat. Contohnya pada ular cabe (Manticora intestinalis). Jenis ular lain yang mirip dengan jenis ini adalah ular kepala dua (Cylindrophis rufus), sehingga sering kali orang keliru dan tidak berhati – hati dengannya. Jenis lain seperti ular gadung (Ahaetulla prasina) dan ular luwuk (Cryptelitrops albolabris) juga sering kali dianggap mirip karena warnanya yang sama – sama hijau. Padahal apabila diperhatikan keduanya memiliki perbedaan bentuk tubuh dan kepala yang sangat jelas. Belum ada cara yang sederhana untuk mengenali ular berbisa tinggi. Beberapa jenis ular tidak berbisa memiliki bentuk morfologi (tampakan luar) yang sangat mirip dengan jenis ular yang berbisa. Namun untuk jenis – jenis ular berbisa tinggi dan berbahaya yang tersebar di Jawa biasanya memiliki ciri khusus seperti ukuran, bentuk tubuh, warna, pola pewarnaan dan perilaku serta bunyi – bunyian tertentu yang mereka buat saat merasa terancam. Sebagai contoh, perilaku bertahan yang sudah banyak dikenal adalah perilaku dari ular kobra dimana mereka akan menegakkan tubuhnya, membuka tudungnya (hood), mendesis dan melakukan serangan difensif yang berulang – ulang. Pola warna pada ular juga dapat sangat bervariasi. Akan tetapi, beberapa pola pewarnaan seperti pola bulatan putih dikelilingi lingkaran hitam pada ular bandotan puspo, atau pola warna hitam dan kuning berselang – seling dari kepala hingga ke ujung tubuh pada ular welang dan weling juga dapat dibedakan dengan mudah. Desisan keras ular bandotan puspo juga merupakan peringatan dari ular tersebut.

Ular berbisa tinggi memiliki sepasang gigi besar di bagian depan rahang atasnya, dan disebut taring bisa. Taring bisa ini memiliki struktur yang berfungsi sebagai saluran bisa mirip seperti saluran pada jarum suntik. Pada jenis yang lain saluran tersebut terbuka seperti lekukan. Kedua struktur tersebut membantu ular berbisa untuk memasukkan bisa atau venom jauh kedalam jaringan tubuh mangsanya. Jika seseorang terkena gigitan ular berbisa, bisa umumnya akan diinjeksi ke jaringan di bawah kulit (subcutaneous) atau ke dalam jaringan otot (intramuscular). Kobra penyembur dari Asia (Naja sputatrix) dengan alur lekukan pada taring bisanya, mampu mengeluarkan bisa dengan sangat cepat keluar melalui ujung taring bisanya sehingga menghasilkan semburan bisa. Semburan tersebut umumnya diarahkan ke mata lawannya.

Ada tiga famili ular berbisa, yaitu Elapidae, Hydropidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema, dan perdarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tapi tetap di lokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi di lokasi gigitan  dalam wqaktu 8 jam.

Tabel 1.1 Klasifikasi ular berbisa, lokasi, dan sifat bisa

Famili

Lokasi Sifat

Bisa

Elapidae

Seluruh dunia, kecuali Eropa

Neurotoksik dan nekrosis (ular cobra)

Hydrophidae

Pantai perairan Asia- Pasifik

Myotoksik

Viperidae:

       Viperonae

 

       Crotalidae

 

Seluruh dunia kecuali Amerika dan Asia- Pasifik

Asia dan Amerika

 

Vaskulotoksik

 

Untuk sementara waktu bisa akan terakumulasi dengan kadar yang tinggi dalam kelenjar getah bening, jika tidak dilakukan tindakan pertolongan pertama, dalam waktu 2 jam setelah gigitan akan terdeteksi dalam plasma dan urine dengan kadar tinggi.

            Sembilan puluh lima persen gigitan ular terjadi pada anggota badan, sehingga tindakan pertolongan pertama dapat mudah dilakukan. Penggunaan torniket untuk menghambat penyebaran bisa, selain sakit juga dapat membahayakan peredaran darah. Sebagai alternatif dalam tindakan pertolongan pertama dapat dengan balutan yang kuat di tempat gigitan dikombinasi dengan immobilisasi bagian anggota badan yang terpengaruh.

            Balutan yang kuat dapat dilakukan untuk beberapa jam tanpa membahayakan peredaran darah keseluruhan anggota badan. Selain membantu menghambat dan membatasi perubahan lokal di daerah serta sebagai usaha penyelamatan jiwa, balutan yang kuat juga memperbaiki  dan meningkatkan reaksi terhadap antibisa. Jika terjadi gigitan pada bagian tubuh yang lain, tindakan pertolongan pertama dengan balutan yang kuat masih dapat dilakukan, asalkan tidak mengganggu pernafasan. Sedangkan jika terjadi gigitan pada leher tidak ada tindakan pertolongan pertama yang dapat dilakukan.

Gb.1.1 Cara meekan dan membalut bekas gigitan ular

Tanda dan gejala gigitan ular berbisa

Bila tergigit ular yang berbisa tinggi efeknya berbeda beda sesuai jenis racun yang terkandung di dalam bisa ular, efek gigitan pada umumnya :
1. Pembengkakan pada luka, diikuti perubahan warna
2. Rasa sakit di seluruh persendian tubuh
3. Mulut terasa kering
4. Pusing, mata berkunang - kunang
5. Demam, menggigil
6. Efek lanjutan akan muntah, lambung dan liver (hati) terasa sakit, pinggang   

   terasa   pegal, akibat dari usaha ginjal membersihkan darah

 

Tindakan pertolongan di tempat kejadian

1. Jangan panik
2. Amankan posisi penolong dan korban

Terutama dari bahaya lain seperti gigitan ular itu “lagi”, lokasi yang curam, dll. Jika

diri sendiri  yang tergigit, ambil posisi yang aman, jauhi ular.
3. Imobilisasi pasien dan Lakukan pembalutan elastisdi atas luka gigitan untuk

menghentikan dan memperlambat laju bisa menuju ke jantung Imobilisasi pasien dan

Lakukan pembalutan elastisdi atas luka gigitan untuk menghentikan dan

memperlambat laju bisa menuju ke jantung

4. Tenangkan korban, jangan banyak melakukan aktifitas/gerakan yang menguras tenaga dan mempercepat detak jantung

5. Kenali ular yang menggigit (LANGKAH VITAL dan PENTING !)
Jika dapat mengenali ular, sesuaikan tindakan pertolongan sesuai dengan karakter efek bisa nya terhadap manusia.

6. Lakukan tindakan pertolongan pertama

 

Tindakan penanggulangan di rumah sakit/ klinik:

Komponen terbesar bisa adalah protein yang dapat dinetralkan dengan segera oleh antibodi yang spesifik. Jumlah antibisa yang dibutuhkan akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain berat badan dan kondisi kesehatan penderita ada waktu itu. Lokasi gigitan juga ikut menentukan jumlah antibisa yang dibutuhkan karena mempengaruhi kecepatan absorpsi bisa. Hal yang perlu diusahakan agar jumlah antibisa lebih besar dari jumlah bisa dan harus segera diberikan setelah terjadi gigitan. Jika pemberian antibisa ditunda, bisa akan menyerang jaringan yang akan mempersulit antibisa menetralkan atau menghentikan efeknya. Antibisa tidak dapat mengembalikan kerusakan lokal berat yang disebabkan oleh bisa dari beberapa jenis ular, tapi dapat menghentikan terjadinya perubahan lebih lanjut. Antibisa sedapat mungkin diberikan secara intra vena sebagai infus, sehingga dapat langsung terjadi kontak dengan bisa. Tes sensitivitas kulit terhadap protein kuda tidak perlu dilakukan karena biasanya memberikan hasil yang kurang tepat.

            Daftar serum antibisa yang spesifik, terdapat dalam penerbitan WHO “Progress in the characterization of venoms and standardizatiaon of antivenoms”. Di Indonesia, Perum Bio Farma memproduksi serum antibisa ular polivalen yang digunakan terhadap gigitan ular Ankystrodon rhodostoma, Bungarus fasciatus, dan Naya sputatrik. Bisa ular Naya bersifat neurotoksik, sedangkan bisa ular Ankystrodon bersifat hemototoksik. Karena tidak terjadi netralisasi silang, serum antibisa ular polivalen, tidak berkhasiat terhadap gigitan ular berbisa yang terdapat di Indonesia bagian timur dan terhadap gigitan ular laut.

Premedikasi:

Sebelum diberi serum antibisa, sebaiknya dilakukan premedikasi dengan adrenalin 0,25 mg (untuk anak dosis dikurangi) secara SC atau obat golongan antihistaminnika dengan efek sedatif minimal secara parenteral. Jika sebelumnya pernah menggunakan atau alergi terhadap serum yang berasal dari kuda dapat digunakan obat golongankortikosteroid. Pemberian adrenalin pada penderita penyakit jantung atau lanjut usia perlu hati- hati. Penderita umur di atas 35 tahun, umumnya sudah pernah mendapat antitoksin tetanus yang berasal dari kuda, sehingga sebaiknya diperlakukan sebagai orang yang sensitif terhadap serum antibisa.

 

Cara pemberian serum antibisa:

Kecuali dalam keadaan darurat pada waktu pemberian antibisa ular harus tersedia oksigen, arus udara mencukupi, dan alat penghisap yang siap pakai.

            Serum antibisa diencerkan dengan larutan Hartmann (larutan Ringer Laktat) dengan perbandingan 1:10 dan diberikan perlahan- lahan, terutama pada permulaan. Pemberian antibisa harus segera dihentikan, jika timbul gejala yang tidak dikehendaki dan ulangi pemberian obat seperti pada premedikasi, sebelum pemberian infus antibisa diteruskan.

Gb.1.2 Serum anti bisa ular

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tindakan lain- lain:

Dalam mengatasi gigitan ular berbisa, pemberian serum antibisa yang cukup dan pengaturan ventilasi yang memadai merupakan tindakan yang utama. Sedangkan tindakan yang bersifat suportif  merupakan tidakan sekunder dan dilakukan sesuai dengan kondisi penderita.

Beberapa tindakan yang mungkin perlu dilakukan antara lain:

  1. Luka akibat gigitan, potensial mudah terkena infeksi bakteri. Selain diperlukan obat golongan antibioti, juga perlu dilakukan tindakan pencegahan terhadap tetanus dengan memperhatikan tingkat imunisasinya.
  2. Pemberian cairan infus akan sangat diperlukan
  3. Jika terjadi nekrosis jaringan, perlu dilakukan tindakan bedah.
  4. Perdarahan, termasuk gangguan koagulasi, koagulasi intavaskuler, dan afibrinogenemia perlu diatasi, tapi tidak dapat dilakukan sebelum netralisasi bisa mencukupi. Jangan diberi heparin karena dapat merusak dinding kapiler.
  5. Pemberian morfin merupakan kontra indikasi. Diazepam dengan dosis sedang akan memberikan hasil yang memuaskan.
  6. Jika antibisa tidak dapat mengatasi shok, diperlukan plasma volume ekspander atau mungkin obat golongan vasopresor.
  7. Pada penderita gagal ginjal, perlu dilakukan hemodialisa atau dialisa peritoneal.

 

 

 

 

Kekeliruan tindakan:

Dalam mengatasi gigitan ular berbisa, diperlukan tindakan yang tepat. Kekeliruan dalam tindakan penanggulangan dapat terjadi, antara lain:

a.       Insisi atau eksisi daerah gigitan yang dapat merusak urat saraf dan pembuluh darah.

b.      Pendinginan daerah gigitan, sehingga penderita mengalami radang dingin (frosbite), selain menderita karena gigitan.

c.       Pemberian serum antibisa yang sebetulnya tidak diperlukan.

d.      Menahan pemberian serumantibisa pada waktu yang sangat diperlukan.

e.       Memulangkan penderita dari perawatan di rumah sakit tanpa waktu yang cukup untuk observasi, sehingga penderita akan dibawa kembali ke rumah sakit dalam keadaan sekarat.

f.        Memberikan serum antibisa kepada anak- anak lebih sedikit dibandingkan dengan kepada orang dewasa. Padahal seharusnya kepada anak- anak diberikan jumlah yang sama dengan orang dewasa, bahkan mungkin diperlukan lebih besar mengingat perbandingan bisa per Kilo gram berat badan lebih tinggi.

g.       Pemberian serum antibisa yang tidak cukup. Seorang penderita mungkin hanya memerlukan satu ampul serum antibisa, sedangkan penderita lain dapat memerlukan sampai 10 ampul.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Badan Pendidikan dan Latihan Wanadri. 2005. Teknik dasar hidup di alam bebas. Lembaga Penerbitan dan Buletin Wanadri

Wuster, W. 1992. A century of confusion: Asiatic cobras revisited. The Vivarium, 4: 14-18.

http://www.searo.who.int/en/Section10/Section17.htm

Sartono, 1999, Racun dan Keracunan. Jakarta : EGC

 

Blogged with the Flock Browser

No comments:

Post a Comment