Monday, August 3, 2009

PPGD

GIGITAN ULAR BERBISA

 

 

 

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok matakuliah PPGD

Oleh:

Yuna Samosir

Mukhali

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

STIKES RAJAWALI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

BANDUNG

2009

Blogged with the Flock Browser

GIGITANTAN ULAR BERBISA

GIGITAN ULAR BERBISA

Ular merupakan salah satu jenis hewan melata (reptilia) yang sangat umum berada di sekitar kita. Mereka menghuni hampir sebagian besar wilayah mulai kawasan pegunungan, pemukiman penduduk, persawahan, kawasan karst hingga di sekitar kawasan pesisir. Peran mereka yang penting dalam menjaga keseimbangan di alam (ekosistem) menjadikan penting bagi kita untuk mengetahui lebih jauh mengenai jenis hewan ini.

Beberapa jenis ular dikenal berbahaya bagi manusia karena “bisa” (venom) yang mereka miliki. Banyak kasus gigitan ular yang berakibat fatal telah tercatat di berbagai wilayah di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini. Fakta ini mengakibatkan image yang buruk mengenai ular. Banyak yang menganggap bahwa semua ular berbisa, sehingga kebanyakan orang akan takut saat berjumpa dengan ular. Faktanya, hanya ular berbisa dan hanya sebagian dari kelompok ular tersebut yang mematikan bagi manusia. Oleh karenanya, kami menekankan pentingnya pengenalan jenis – jenis ular, baik yang berbisa maupun yang tidak. Diharapkan masyarakat menjadi lebih sadar dan mengerti sehingga tidak membunuhi mereka dengan membabi buta. Semoga kita menjadi lebih bijaksana dalam bertindak ketika menangani hewan ini. Oleh karena hal tersebut selanjutnya nanti akan dijelaskan sedikit mengenai membedakan ular yang berbisa dan tidak berbisa.

Kebanyakan orang membedakan ular berbisa dan tidak (berbisa) dari warna tubuhnya, bentuk tubuh, atau bentuk kepalanya yang segitiga serta gerakannya yang lambat. Akan tetapi cara ini tidak sepenuhnya berlaku untuk semua jenis ular. Banyak jenis ular yang tidak memiliki bentuk kepala segitiga tetapi memiliki bisa yang sangat kuat. Contohnya pada ular cabe (Manticora intestinalis). Jenis ular lain yang mirip dengan jenis ini adalah ular kepala dua (Cylindrophis rufus), sehingga sering kali orang keliru dan tidak berhati – hati dengannya. Jenis lain seperti ular gadung (Ahaetulla prasina) dan ular luwuk (Cryptelitrops albolabris) juga sering kali dianggap mirip karena warnanya yang sama – sama hijau. Padahal apabila diperhatikan keduanya memiliki perbedaan bentuk tubuh dan kepala yang sangat jelas. Belum ada cara yang sederhana untuk mengenali ular berbisa tinggi. Beberapa jenis ular tidak berbisa memiliki bentuk morfologi (tampakan luar) yang sangat mirip dengan jenis ular yang berbisa. Namun untuk jenis – jenis ular berbisa tinggi dan berbahaya yang tersebar di Jawa biasanya memiliki ciri khusus seperti ukuran, bentuk tubuh, warna, pola pewarnaan dan perilaku serta bunyi – bunyian tertentu yang mereka buat saat merasa terancam. Sebagai contoh, perilaku bertahan yang sudah banyak dikenal adalah perilaku dari ular kobra dimana mereka akan menegakkan tubuhnya, membuka tudungnya (hood), mendesis dan melakukan serangan difensif yang berulang – ulang. Pola warna pada ular juga dapat sangat bervariasi. Akan tetapi, beberapa pola pewarnaan seperti pola bulatan putih dikelilingi lingkaran hitam pada ular bandotan puspo, atau pola warna hitam dan kuning berselang – seling dari kepala hingga ke ujung tubuh pada ular welang dan weling juga dapat dibedakan dengan mudah. Desisan keras ular bandotan puspo juga merupakan peringatan dari ular tersebut.

Ular berbisa tinggi memiliki sepasang gigi besar di bagian depan rahang atasnya, dan disebut taring bisa. Taring bisa ini memiliki struktur yang berfungsi sebagai saluran bisa mirip seperti saluran pada jarum suntik. Pada jenis yang lain saluran tersebut terbuka seperti lekukan. Kedua struktur tersebut membantu ular berbisa untuk memasukkan bisa atau venom jauh kedalam jaringan tubuh mangsanya. Jika seseorang terkena gigitan ular berbisa, bisa umumnya akan diinjeksi ke jaringan di bawah kulit (subcutaneous) atau ke dalam jaringan otot (intramuscular). Kobra penyembur dari Asia (Naja sputatrix) dengan alur lekukan pada taring bisanya, mampu mengeluarkan bisa dengan sangat cepat keluar melalui ujung taring bisanya sehingga menghasilkan semburan bisa. Semburan tersebut umumnya diarahkan ke mata lawannya.

Ada tiga famili ular berbisa, yaitu Elapidae, Hydropidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema, dan perdarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tapi tetap di lokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi di lokasi gigitan  dalam wqaktu 8 jam.

Tabel 1.1 Klasifikasi ular berbisa, lokasi, dan sifat bisa

Famili

Lokasi Sifat

Bisa

Elapidae

Seluruh dunia, kecuali Eropa

Neurotoksik dan nekrosis (ular cobra)

Hydrophidae

Pantai perairan Asia- Pasifik

Myotoksik

Viperidae:

       Viperonae

 

       Crotalidae

 

Seluruh dunia kecuali Amerika dan Asia- Pasifik

Asia dan Amerika

 

Vaskulotoksik

 

Untuk sementara waktu bisa akan terakumulasi dengan kadar yang tinggi dalam kelenjar getah bening, jika tidak dilakukan tindakan pertolongan pertama, dalam waktu 2 jam setelah gigitan akan terdeteksi dalam plasma dan urine dengan kadar tinggi.

            Sembilan puluh lima persen gigitan ular terjadi pada anggota badan, sehingga tindakan pertolongan pertama dapat mudah dilakukan. Penggunaan torniket untuk menghambat penyebaran bisa, selain sakit juga dapat membahayakan peredaran darah. Sebagai alternatif dalam tindakan pertolongan pertama dapat dengan balutan yang kuat di tempat gigitan dikombinasi dengan immobilisasi bagian anggota badan yang terpengaruh.

            Balutan yang kuat dapat dilakukan untuk beberapa jam tanpa membahayakan peredaran darah keseluruhan anggota badan. Selain membantu menghambat dan membatasi perubahan lokal di daerah serta sebagai usaha penyelamatan jiwa, balutan yang kuat juga memperbaiki  dan meningkatkan reaksi terhadap antibisa. Jika terjadi gigitan pada bagian tubuh yang lain, tindakan pertolongan pertama dengan balutan yang kuat masih dapat dilakukan, asalkan tidak mengganggu pernafasan. Sedangkan jika terjadi gigitan pada leher tidak ada tindakan pertolongan pertama yang dapat dilakukan.

Gb.1.1 Cara meekan dan membalut bekas gigitan ular

Tanda dan gejala gigitan ular berbisa

Bila tergigit ular yang berbisa tinggi efeknya berbeda beda sesuai jenis racun yang terkandung di dalam bisa ular, efek gigitan pada umumnya :
1. Pembengkakan pada luka, diikuti perubahan warna
2. Rasa sakit di seluruh persendian tubuh
3. Mulut terasa kering
4. Pusing, mata berkunang - kunang
5. Demam, menggigil
6. Efek lanjutan akan muntah, lambung dan liver (hati) terasa sakit, pinggang   

   terasa   pegal, akibat dari usaha ginjal membersihkan darah

 

Tindakan pertolongan di tempat kejadian

1. Jangan panik
2. Amankan posisi penolong dan korban

Terutama dari bahaya lain seperti gigitan ular itu “lagi”, lokasi yang curam, dll. Jika

diri sendiri  yang tergigit, ambil posisi yang aman, jauhi ular.
3. Imobilisasi pasien dan Lakukan pembalutan elastisdi atas luka gigitan untuk

menghentikan dan memperlambat laju bisa menuju ke jantung Imobilisasi pasien dan

Lakukan pembalutan elastisdi atas luka gigitan untuk menghentikan dan

memperlambat laju bisa menuju ke jantung

4. Tenangkan korban, jangan banyak melakukan aktifitas/gerakan yang menguras tenaga dan mempercepat detak jantung

5. Kenali ular yang menggigit (LANGKAH VITAL dan PENTING !)
Jika dapat mengenali ular, sesuaikan tindakan pertolongan sesuai dengan karakter efek bisa nya terhadap manusia.

6. Lakukan tindakan pertolongan pertama

 

Tindakan penanggulangan di rumah sakit/ klinik:

Komponen terbesar bisa adalah protein yang dapat dinetralkan dengan segera oleh antibodi yang spesifik. Jumlah antibisa yang dibutuhkan akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain berat badan dan kondisi kesehatan penderita ada waktu itu. Lokasi gigitan juga ikut menentukan jumlah antibisa yang dibutuhkan karena mempengaruhi kecepatan absorpsi bisa. Hal yang perlu diusahakan agar jumlah antibisa lebih besar dari jumlah bisa dan harus segera diberikan setelah terjadi gigitan. Jika pemberian antibisa ditunda, bisa akan menyerang jaringan yang akan mempersulit antibisa menetralkan atau menghentikan efeknya. Antibisa tidak dapat mengembalikan kerusakan lokal berat yang disebabkan oleh bisa dari beberapa jenis ular, tapi dapat menghentikan terjadinya perubahan lebih lanjut. Antibisa sedapat mungkin diberikan secara intra vena sebagai infus, sehingga dapat langsung terjadi kontak dengan bisa. Tes sensitivitas kulit terhadap protein kuda tidak perlu dilakukan karena biasanya memberikan hasil yang kurang tepat.

            Daftar serum antibisa yang spesifik, terdapat dalam penerbitan WHO “Progress in the characterization of venoms and standardizatiaon of antivenoms”. Di Indonesia, Perum Bio Farma memproduksi serum antibisa ular polivalen yang digunakan terhadap gigitan ular Ankystrodon rhodostoma, Bungarus fasciatus, dan Naya sputatrik. Bisa ular Naya bersifat neurotoksik, sedangkan bisa ular Ankystrodon bersifat hemototoksik. Karena tidak terjadi netralisasi silang, serum antibisa ular polivalen, tidak berkhasiat terhadap gigitan ular berbisa yang terdapat di Indonesia bagian timur dan terhadap gigitan ular laut.

Premedikasi:

Sebelum diberi serum antibisa, sebaiknya dilakukan premedikasi dengan adrenalin 0,25 mg (untuk anak dosis dikurangi) secara SC atau obat golongan antihistaminnika dengan efek sedatif minimal secara parenteral. Jika sebelumnya pernah menggunakan atau alergi terhadap serum yang berasal dari kuda dapat digunakan obat golongankortikosteroid. Pemberian adrenalin pada penderita penyakit jantung atau lanjut usia perlu hati- hati. Penderita umur di atas 35 tahun, umumnya sudah pernah mendapat antitoksin tetanus yang berasal dari kuda, sehingga sebaiknya diperlakukan sebagai orang yang sensitif terhadap serum antibisa.

 

Cara pemberian serum antibisa:

Kecuali dalam keadaan darurat pada waktu pemberian antibisa ular harus tersedia oksigen, arus udara mencukupi, dan alat penghisap yang siap pakai.

            Serum antibisa diencerkan dengan larutan Hartmann (larutan Ringer Laktat) dengan perbandingan 1:10 dan diberikan perlahan- lahan, terutama pada permulaan. Pemberian antibisa harus segera dihentikan, jika timbul gejala yang tidak dikehendaki dan ulangi pemberian obat seperti pada premedikasi, sebelum pemberian infus antibisa diteruskan.

Gb.1.2 Serum anti bisa ular

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tindakan lain- lain:

Dalam mengatasi gigitan ular berbisa, pemberian serum antibisa yang cukup dan pengaturan ventilasi yang memadai merupakan tindakan yang utama. Sedangkan tindakan yang bersifat suportif  merupakan tidakan sekunder dan dilakukan sesuai dengan kondisi penderita.

Beberapa tindakan yang mungkin perlu dilakukan antara lain:

  1. Luka akibat gigitan, potensial mudah terkena infeksi bakteri. Selain diperlukan obat golongan antibioti, juga perlu dilakukan tindakan pencegahan terhadap tetanus dengan memperhatikan tingkat imunisasinya.
  2. Pemberian cairan infus akan sangat diperlukan
  3. Jika terjadi nekrosis jaringan, perlu dilakukan tindakan bedah.
  4. Perdarahan, termasuk gangguan koagulasi, koagulasi intavaskuler, dan afibrinogenemia perlu diatasi, tapi tidak dapat dilakukan sebelum netralisasi bisa mencukupi. Jangan diberi heparin karena dapat merusak dinding kapiler.
  5. Pemberian morfin merupakan kontra indikasi. Diazepam dengan dosis sedang akan memberikan hasil yang memuaskan.
  6. Jika antibisa tidak dapat mengatasi shok, diperlukan plasma volume ekspander atau mungkin obat golongan vasopresor.
  7. Pada penderita gagal ginjal, perlu dilakukan hemodialisa atau dialisa peritoneal.

 

 

 

 

Kekeliruan tindakan:

Dalam mengatasi gigitan ular berbisa, diperlukan tindakan yang tepat. Kekeliruan dalam tindakan penanggulangan dapat terjadi, antara lain:

a.       Insisi atau eksisi daerah gigitan yang dapat merusak urat saraf dan pembuluh darah.

b.      Pendinginan daerah gigitan, sehingga penderita mengalami radang dingin (frosbite), selain menderita karena gigitan.

c.       Pemberian serum antibisa yang sebetulnya tidak diperlukan.

d.      Menahan pemberian serumantibisa pada waktu yang sangat diperlukan.

e.       Memulangkan penderita dari perawatan di rumah sakit tanpa waktu yang cukup untuk observasi, sehingga penderita akan dibawa kembali ke rumah sakit dalam keadaan sekarat.

f.        Memberikan serum antibisa kepada anak- anak lebih sedikit dibandingkan dengan kepada orang dewasa. Padahal seharusnya kepada anak- anak diberikan jumlah yang sama dengan orang dewasa, bahkan mungkin diperlukan lebih besar mengingat perbandingan bisa per Kilo gram berat badan lebih tinggi.

g.       Pemberian serum antibisa yang tidak cukup. Seorang penderita mungkin hanya memerlukan satu ampul serum antibisa, sedangkan penderita lain dapat memerlukan sampai 10 ampul.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Badan Pendidikan dan Latihan Wanadri. 2005. Teknik dasar hidup di alam bebas. Lembaga Penerbitan dan Buletin Wanadri

Wuster, W. 1992. A century of confusion: Asiatic cobras revisited. The Vivarium, 4: 14-18.

http://www.searo.who.int/en/Section10/Section17.htm

Sartono, 1999, Racun dan Keracunan. Jakarta : EGC

 

Blogged with the Flock Browser

Saturday, June 20, 2009

Obat-obat Antikolinergik

Obat-obat  Antikolinergik

 

Konsep Utama :

  1. Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.
  2. Efek antikolinergik pada sistem pernafasan adalah relaksasi dari otot polos bronkus yang akan mengurangi resistensi jalan nafas dan meningkatkan ruang rugi anatomi
  3. Obat antikolnergik tidak bermanfaat dalam hal mencegah aspirasi pneumonia
  4. Atropin  berefek khusus pada jantung dan otot polos dan sebagai antikolinergik yang paling baik untuk mengatasi bradiaritmia
  5. Larutan ipratropium (0,5mg dalam 2,5 cc) sangat efektif dalam mengobati penyakit akut kronis paru obstruksi dikombinasikan dengan obat beta agonis          ( albuterol)
  6. Skopolamin lebih poten sebagai antisialagogue dibanding atropin dan menyebabkan efek saraf pusat yang lebih besar
  7. Karena struktur quaternary,glikopirolat tidak dapat menembus sawar darah otak dan hampir tidak mempengaruhi saraf pusat dan aktivitas mata

 

Satu grup dari antagonis kolinergik telah didiskusikan: Obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Obat ini menghambat reseptor nikotinik pada otot rangka. Bab ini akan membahas farmakologi obat yang menghambat reseptor muskarinik. Walaupun klasifikasi antikolinergik selalu dipakai pada grup ini,namun yang lebih tepat yaitu anti muskarinik.

Dalam  bab ini, mekanisme aksi dan farmakologi klinik dibagi tiga obat antikolinergik yaitu atropin,skopolamin,glikopirolat. Kegunaan klinis dari obat ini dalam praktek anestesi berhubungan efeknya terhadap kardiovaskular,respirasi,cerebral,gastrointestinal, dan sistem organ lain.

MEKANISME AKSI

Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3)  

 

 

FARMAKOLOGI KLINIK

Karakteristik farmakologis umum

Dalam dosis klinis,hanya reseptor muskarinik yang dihambat oleh obat antikolinergik yang akan dibahas pada bab ini. Kelebihan efek antikolinergik tergantung dari derajat dasar  tonus vagal. Beberapa sistem organ dipengaruhi :

A. Kardiovaskular

Blokade reseptor muskarinik pada SA node berakibat takikardi. Efek ini secara khusus mengatasi bradikardi karena reflek vagal (reflek baroreseptor,stimulasi peritoneal atau reflek okulokardia). Perlambatan transien denyut jantung karena antikolinergk dosis rendah telah dilaporkan. Mekanisme ini merupakan respon paradoks karena efek agonis perifer yang lemah, diduga obat ini tidak murni antagonis. Konduksi melalui AV node akan memendekkan interval P-R pada EKG dan sering menurunkan blokade jantung disebabkan aktivitas vagal. Atrial disritmia dan ritme nodal jarang terjadi. Antikolinergik berefek kecil pada fungsi ventrikel atau vaskuler perifer karena kurangnya persarafan kolinergik pada area ini dibanding reseptor kolinergik. Dosis besar antikolinergik dapat menghasilkan dilatasi pembuluh darah kutaneus (atropin flush)

 

 

 

B. Respirasi

Antikolinergik menghambat sekresi mukosa saluran pernafasan,dari hidung sampai bronkus. Efek kering ini penting sebelum pemberian agen inhalasi yang kurang iritasi. Relaksasi dari otot polos bronkus akan mengurangi resistensi jalan nafas dan meningkatkan ruang rugi anatomi. Efek ini penting pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis atau asma

C. Cerebral

Antikolinergik dapat mempengaruhi sistem saraf pusat mulai dari stimulasi sampai depresi,tergantung pemilihan obat dan dosis. Stimulasi seperti eksitasi,lemah atau halusinasi. Depresi dapat menyebabkan sedasi dan amnesia. Physostigmin, penghambat kolinesterase dapat menembus sawar darah otak,dapat mengatasi efek ini.

D. Gastrointestinal

Sekresi air liur berkurang oleh obat antikolinergik. Sekresi gastrik juga berkurang,tapi dosis besar diperlukan.Motilitas dan peristaltik  intestinal berkurang dan waktu pengosongan lambung memanjang. Tekanan spingter esofagus bagian bawah berkurang. Obat antikolnergik tidak bermanfaat dalam hal mencegah aspirasi pneumonia.

E. Mata

Antikolinergik menyebabkan midriasi (dilatasi pupil) dan siklopegi ( tidak dapat akomodasi penglihatan dekat);glaukoma akut sudut tertutup diikuti pemberian secara sistemik dari obat antikolinergik

F. Genitourinary

Antikolinergik dapat menurunkan tonus ureter dan blader sebagai hasil dari relaksasi otot polos dan retensi urin, khususnya pada pasien usia klanjut dengan pembesaran prostat

G. Termoregulasi

Penghambatan kelenjar liur dapat meningkatkan temperatur suhu tubuh ( demam atropin)

H. Immune-mediated hypersensitivity

Berkurangnya cGMP inraselular secara teori berguna dalam pengobatan reaksi hipersensitivitas. Secara klinis,antikolinergik mempunyai efek kecil pada kasus ini.

 

OBAT ANTIKOLINERGIK SPESIFIK

ATROPIN

Struktur fisik

Atropin merupakan amin tertier terdiri dari asam tropis ( asam aromatik) dan tropin (basa organik). Secara murni berbentuk levorotari aktif, tapi secara komersial adalah rasemik

Dosis dan Kemasan

Sebagai premedikasi,atropin diberikan secara intravena atau intramuskular dengan rentang dosis 0,01 – 0,02 mg/kg ,dosis biasa dewasa 0,4 – 0,6 mg. Dosis intravena lebih besar diperlukan sampai 2 mg untk blokade komplit saraf vagal kardiak dalam pengobatan bradikardia hebat. Dosis yang tepat untuk meminimalkan efek samping penghambat antikolinesterase  dalam melawan blokade nondepolarisasi. Atropin sulfat tersedia dalam konsentrasi berbeda.

Dasar klinis

Atropin  berefek khusus pada jantung dan otot polos dan sebagai antikolinergik yang paling baik untuk mengatasi bradiaritmia. Pasien penyakit arteri koroner tidak dapat mentoleransi peningkatan kebutuhan oksigen dan berkurangnya suplai oksigen karena takikardia disebabkan atropin. Derivatif atropin (iprapropium bromida) tersedia dalam inhaler dosis terukur untuk pengobatan bronkospasme. Larutan ipratropium (0,5mg dalam 2,5 cc) sangat efektif dalam mengobati penyakit akut kronis paru obstruksi dikombinasikan dengan obat beta agonis ( albuterol) .Efek saraf pusat akibat atropin minimal dengan dosis biasa,walaupun amin tertier dapat melewati sawar darah otak. Atropin mengakibatkan defisit memori pasca operasi, dan reaksi eksitatori bila dosis toksik. Dosis intramuskular 0,01 – 0,02 mg/kg sebagai antisialagogue. Atropin harus dipakai secara hati-hati pada pasien galukoma sudut sempit,hipertropi prostat atau obstruksi bladder neck.

 

 

SKOPOLAMIN

Struktur fisik

Skopolamin berbeda dengan atropin oleh jembatan oksigen ke basa organik membentuk skopin.

Dosis dan Kemasan

Dosis premedikasi skopolamin sama dengan atropin dan selalu diberikan intramuskular. Skopolamin hidrobromida tersedia dalam larutan 0,3,0,4 dan 1 mg/cc

Dasar klinik

Skopolamin lebih poten sebagai antisialagogue dibanding atropin dan berefek lebih besar pada susunan saraf pusat. Dosis klinis selalu menyebabkan ngantuk dan amnesia,walaupun gelisah dan delirium juga terjadi. Efek sedatif dapat dicapai sebagai premedikasi tapi dapat memperlama bangun bila prosedur pendek. Skopolamin dapat mencegah motion sickness. Kelarutannya dalam lemak dapat terjadi absorpsi transdermal. Karena efeknya pada mata, skopolamin dihindari pada pasien glaukoma sudut tertutup.

 

Glikopirolat

Struktur fisik

Glikopirolat merupakan sintesis amonium quaternary mengandung asam mandelik dalam asam tropik

Dosis & Kemasan

Dosis biasa glikopirolat setengah dari atropin.Dosis premedikasi 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2 – 0,3 mg pada dewasa. Glikopirilat injeksi dikemas dalam bentuk larutan 0,2 mg/cc

Dasar klinik

Karena struktur quaternary,glikopirolat tidak dapat menembus sawar darah otak dan hampir tidak mempengaruhi saraf pusat dan aktivitas mata. Inhibisi kuat kelenjar liur dan sekresi saluran pernafasan sebagai alasan utama memakai glikopirolat sebagai premedikasi. Denyut jsntung selalu meningkat setelah intravena-tapi tidak secara intramuskular. Glikopirolat berefek lebih lama dibanding atropin (2-4 jam dibanding 30 menit setelah pemberian intravena.



Blogged with the Flock Browser

Tuesday, June 16, 2009

materi kuliah musculoskeletal

TINJAUAN TEORITIS

FRAKTUR

 

I.                Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang biasanya disertai dengan luka di sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah dan luka organ-organ tubuh.

 

II.              Etiologi

1.      fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang lebih besar daripada daya tahan tulang.

2.      Fraktur terjadi karena tulang yang sakit (osteoporosis) ini dinamakan fraktur patologi.

 

III.            Type Fraktur

A. Fraktur Komplit

Adalah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).

B. Fraktur Tidak Komplit

Adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

C.Fraktur Tertutup (fraktur simpel)

Disebabkkan oleh trauma yang terjadi melalui jaringan lunak diatasnya tanpa luka terbuka yang berhubungan dengan kerangka aksial.

D.Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks)

Merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai kepatahan tulang. Fraktur terbuka dibagi menjadi:

·        Grade 1  : Dengan luka bersih< 1 cm.

·        Grade 2 : Luka > luasa tanpa kerusakan jaringan yang ekstrim.

·        Grade 3  : Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ektrim.

 

Jenis Fraktur :

-     Green Stick.

Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.

-     Tranversal

Fraktur sepanjang garis tengah tulang.

-     Oblik

Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil tranversal).

-     Spiral

Fraktur memuntir seputar batang tulang.

-     Kominutif

Frakur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.

-     Depresi

Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).

-     Kompresi

Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang).

-     Patologik

Fraktur yang terjadi pada tulang yang berpenyakit (kista tulang, penyakit paget, metastasis tulang, tumor).

-     Avulsi.

Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlekatannya.

-     Epifisial

Fraktur memalui epifise.

 

-     Impaksi

Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen yang lainnya.

 

IV.       Tanda Dan Gejala

1.      Deformitas (perubahan struktur atau bentuk)

2.      Bengkok atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh darah.

3.      Pergerakan abnormal.

4.      Nyeri.

5.      Krepitasi yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakan.

6.      Kurangnya sensori yang dapat terjadi  karena adanya gangguan saraf dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.

 

V.         Data Penunjang

·        Pemeriksaan rontgen       :   Menentukan lokasi/ luasnya fraktur/ trauma.

·        Scan tulang                        :   Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk        mengidentifikasi keusakan jarinag lunak.

·        Hitung darah lengkap       :   Ht mungkin  meningkat (hemokonsen-trasi) atau menurun.

 

VI.           Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan langsung.

- Pasang bidai sebelum memindahkan pasien atau pertahankan gerakan diatas dan dibawah tulang yang fraktur.

-  Tingikan ektremitas untuk mengurangi edema.

-  kirimkan pasien ntuk pertolongan emergensi.

-  Pantau daerah yang cedera dalam periode waktu yang pendek untuk sedini mungkin dapat melihat perubahan warna, pernafasan dan suhu.

-  Kompres dingin boleh dilaksanakan  untuk menekan perdarahan, edema dan nyeri.

2  Penanganan sekunder.

a.  reduksi  fraktur (setting tulang).

Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi anatomis. Dilakukan untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya  akibat infiltrasi karena edema/perdarahan.

 

·        reduksi terbuka.

Dengan intervensi bedah, dan pemasangan alat fiksasi internal .

·        Reduksi tertutup.

·        Traksi.

b.  Imobilisasi.

c.  Mempertahankan dan mengembalikan fungsi .

-     Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.

-     Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan.

-     Memantau status neurovaskuler (mis: Pengkajian, peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan).

-     Mengontrol kecemasan dan nyeri.

-     Latihan isometrik dan setting otot untuk meminimalkan atropi  disuse dan meningkatkan peredaran darah.

-     Berpartisipasi dalam aktivitas tidur sehari-hari untuk memperbaiki kemandirian fungsi  dan harga diri.

-     Kembali ke aktivitas secara bertahap.

 


Patofisiologi

Etiologi


{Trauma, ruda paksa)

Stres tida dapat diabsorpsi tulang

 

Fraktur

Tertutup

Terbuka

Kerusakan jaringan lunak, pembuluh darah

Penampang tulang patah

 

Perlukaaan pada kulit

 

Resti infeksi

 

Peredaran darah fraktur

 

Bengkak

Gesekan antar fragmen

 

Pergeseran fragmen tulang

 

Deformitas tulang

 

Peregangan otot dan tulang

 

Sensasi nyeri

 

 

G I P S

 

 

I.            Pengertian

Gips adalah fiksasi ekternal yang sering dipakai, terbuat dari plester ovaris, fiber glas dan plastik (Barbara C Long).

Gips adalah alat mobilisasi dengan tujuan memperbaiki dan menempatkan plister atau fiber glas dan membungkus dengan bebat (Llilian Solitis).

 

II.          Tujuan Pemangan Gips

1.   Imobilisasi kasus dislokasi dan patah tulang fiksasi.

2.   Imobilasi kasus penyakit tulang, misal: dilaksanakan pada kasus post operasi.

3.   Memperbaiki dan mencegah deformitas.

4.   Fiksasi eksternal untuk  menurunkan sakit pembalut darurat.

5.   Mencegah kecacatan.

6.   Mendukung dan menstabilkan sendi yang lemah.

 

III.        Indikasi Dan Kontra Indikasi Pemasangan Gips

a.   Indikasi.

      Pasien dengan dislokasi.

b.      kontra indikasi.

Fraktur terbuka.

IV.       Jenis-Jenis Gips.

a. Short arm cast/ Gips lengan pendek meliputi dari bawah sikut jari telapak tangan. Indikasi untuk fraktur lengan bawah, pergelangan tangan karpal dan metakarpal.

b. Breast cast/ penjepit mengimbangi mobilisasi fraktur sementara sendi dalam keadaan imobiliasi. Indikasi: fraktur tungkai fremur pada gips dihubungkan oleh engsel pada sendi lutut dikunci untuk gerakan jalan da dibuka untuk gerakan lutut.

 

V.         Pemasangan Gips

Prosedur :

1.   Sokong ekstremitas atau bagian tubuh yang akan digips.

2.   Posisikan dan pertahankan bagian yang akan digips dalam posisi yang ditentukan selama prosedur pemasangan gips.

3.   Pasang duk pada pasien.

4.   Cuci dan keringkan bagian yang akan digips.

5.   Pasang bahan rajutan (nis:stokinet) pada bagian yang akan digips. Pasang denga cara yang halus dan tidak mengikat. Boleh juga memakai bahan lain.

6.   Balutan gulungan tanpa rajutan dengan rata dan halus sepanjang bagian yang digips. Tambahkan bantalan didaerah tonjolan  tulang dan paha jalur saraf.

7.   Pasang gips atau material sintesis secara merata pada bagian tubuh. Pilih lebar bahan yang sesuai. Timpa bahan sekitar setengah lebarnya. Lakukan dengan gerakan yang berkesinambungan agar tejaga kontak yang konstan dengan bagian tubuh. Pergunakan bahan gips tambahan  (bidai) pada sendi dan pada titik  stes pada gips yang diperkirakan .

8.   Selesaikan gips:

      - Haluskan tepinya.

      - Potong dan bentuk dengan pemotong  gips atau cuter.

9.   Bersihkan partikel gips dari kulit.

10. Sokong gips selama pengerasan dan pengeringan .

Pasang gips yang sedang dalam proses pengerasan dengan telapak tangan; jangna diletakan pada permukaan keras atau pada tepi tajam; hindari tekanan pada gips.

 

VI.       Pelepasan Gips

Prosedur :

1.   Informasikan kepada pasien mengenai prosedurnya.

2.   Yakinkan kepada pasien bahwa gergaji listrik atau pemotong gips, tidak akan mengiris kulit.

3. Gips akan dibelah dengan menggunakan tekanan berganti-ganti dan gerakan linear pisau sepanjang garis potongan.

4.   Gunakan pelindung mata (pasien dan operator pemotong).

5.   Potong bantalan dengan gunting.

6.   Sokong bagian tubuh ketika gips akan diambil.

7.   Cuci dan keringkan bagian yang habis diimobilisasi dengan  lembut. Oleskan minyak pelumas.

8.   Ajari pasien untuk mencegah menggosok dan menggaruk kulit.

9.   Ajari pasien untuk secara bertahap kembali kekegiatan aktif bagian tubuh menurut panduan, sesuai program terapetik.

10.Ajari pasien untuk mengortrol pembengkakan dengan meninggikan ektremitas  atau menggunakan balutan bila perlu.

     

 

 

T R A K S I

 

 

I.            Pengertian

Penarikan tubuh atau tulang pada titik fiksasi yang ditarik engan tarika ynag sesuai  atau sama besar, menggunaan beban.

 

II.          Fungsi

Untuk mempersatukan fragmen tulang yang patah dan untuk mempertahankan posisi tulang hingga terjadi pertumbuhan dan penyambungan tulang.

Fungsi yang lain diantaranya sebagi  berikut:

a.   Mempertahankan kesinambungan tulang dan kulit.

b.   Memperbaiki dan menjaga deformitas.

c.   Imobilisasi sendi yang sakit.

d..  Penanganan sakit seperti artritis, kerusakan otot atau ligamen, dislokasi, degenerasi  atau ruptur invertebrata.

 

III.    Metode Traksi

a.   traksi dengan gaya berat.

      Cara ini hanya dilakukan pada cedera tungkai atas.

b.   traksi kulit

      Dapat menahan tarikan yang tidak lebih dari 4-5 kg. Ikatan Holland atau Ellestoplast rentang -1- arah ditempelkan pada kulit yang telah dicukur dan dipertahankan dengan suatu pembalut. Untuk traksi digunakan tali atau plester. Beban 5-6 pounds (2,5-3 kg).

c.      Traksi kerangka

Biasanya untuk tibia, cedera pinggul, paha dan lutut. Beban 20-30 pounds (10-15 kg) 1/7-1/5 BB).

 


IV.       Macam-macam Traksi

a.   Manual traksi

      dilakukan dengan tarikan tangan operator seperi ketika memperbaiki dislokasi .

b.   Continues traksi.

      traksi yang dipertahankan tanpa gangguan.

c.   Intermiten traksi.

Pengunaannya hanya sewaktu-waktu setelah pasien dengan head halter traksi , balance traksi, atau sliding traksi.

d.      Balance traksi splint dengan suspensi pada lengan.

Tarikan dilakukan terhadap kekuatan berlawanan yang berasal dari berat tubuh, lalu kaki tempat tidur dinaikan.

e.      Head halter.

 

V.         Prinsip Traksi Efektif

-     Kontraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif.

-     traksi skelet tidak boleh terputus.

-     Pemberat tidak boleh diambil kecuali bila traksi dimaksudkan intermitten.

-     Tubuh asien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur ketika traksi dipasang.

-     Tali tidak boleh macet.

-     Pemberat harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat tidur atau lantai.

-     Simpul pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh kontrol atau kaki tempat tidur.

 

 

 

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN FRAKTUR

 

I.            Pengkajian

A.  Identitas klien

      Nama                        :

      Umur                         :

      Jenis kelamin          :

      Pendidikan              :

      Pekerjaan                :          

B.  Keluhan utama.

      Tidak dapat melakukan pergerakan , nyeri, lemah dan tidak dapat melakukan sebagian aktivitas sehari-hari.

C.  Riwayat kesehatan.

1.   Riwayat kesehatan sekarang

      -     Klien mengeluh nyeri pada bagian tulang yang patah.

      -     Klien tidak dapat meggerkan anggota badannya.

      -     Klien tidak dapat memenuhi ADKnya seara maksimal.

2.   Riwayat kesehatan dahulu.

      Apakah klien pernah mengalami penyakit osteoporosis, osteomielitis.

3.   Riwayat kesehatan keluarga.

      Apakah dalam keluarga ada penyakit karena lingkungan yang kurang  sehat.

D.  Pemeriksaaan fisik.

1.      Aktivitas dan istirahat.

-     Keterbatasan/ kehilangan  fungsi pada bagian yang terlena.

2.      Sirkulasi.

-    Pembengkakan jaringan atau hematoma pada sisi cedera.

-         Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah).

-         Penurunan/ tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambatm pucat pada bagian yang terkena.

3.      Neurosensori.

-         Kehilangan gerakan atau sensasi, spasme otot.

-         Kebas atau kesemutan.

-         Deformitas lokal; pemendekan, rotasi, krepitasi, terlihat kelemahan atau hilang fungsi.

4.      Nyeri/kenyamanan.

-         Nyeri berat tiba-tiba.

-         Spasme setelah imobilisasi.

5.      Keamanan.

-         Pedarahan, laserasi kulit.

-         Pembengkakan lokal.

 

 

II.          Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan.

2. Keterbatasan mobilitas fisik berhibungan dengan imobilisasi.

3. Gangguan pemenuhan ADL; personal hygiene berhubungan dengan imobilisasi.

4. Resti infeksi berhubungan dengan luka terbuka.

5. resti ganguan integritas kulit; dekubitus berhubungan dengab tirah baring lama.

 


III. Perencanaan.

DP I                : Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan .

Tujuan : Menyatakan nyeri hilang.

INTERVENSI

RASIONAL

Mandiri

  • Pertahankan mobilisasi bagian yang sakit denga tirah baring, gips, pemberat, traksi.
  • Tinggikan dan dukung ektremitas yang terkena.

 

  • Evakuasi keluhan nyeri/ ketidaknyamanan, perhatikan lokasi. Perhatikan petunjuk nyeri verbal (perubahan tanda vital dan emosi/ prilaku).
  • Dorong menggunakan relaksasi dengan menarik nafas dalam.

 

  • Selidiki adanya keluhan nyeri yang tidak biasa/ tiba-tiba atau dalam, lokasi  progresf, buruk tidak hilang dengan analgesik.
  • Lakukan kompres dingin/es 24-48 jam pertama dan sesuai dengan keperluan.

Kolaborasi

  • Berikan obat sesuai indikasi.

 

·    Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang/ tegangan jaringan yang cedera.

·    Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan nyeri.

 

·    Mempengaruhi pilihan/ pengawasan keefektifan intervensi . Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/ reaksi terhadap nyeri.

 

·    Mengurangi ketegangan pada otot-otot dan meningkatkan kemampuan koping dalam menejemen nyeri.

·    Dapat menandakan terjadinya komplikasi.

 

 

 

·    Menurunkan edema/ pembentukan hematoma, menurunkan sesuai nyeri.

 

·    Diberian untuk menurunkan nyeri atau spasme otot.

 

DP II   : Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi.

Tupan : Mempertahankan kemampuan pergerakan fisik.

Tupen :  Terpeliharanya posisi  fungsional.

               Mobilitas terpelihara.

               Dapat mendemonstrasikan  cara melakukan gerakan.

                   INTERVENSI                                               RASIONAL

·        Kaji tingkat imobilisasi sehubungan dengan kerusakan dan catat persepsi klien tentang imobilisasi.

 

·        Sediakan papan kaki.

 

 

·        Bantu dengan imobilisasi yang efektif (bergerak, duduk dan bergeser).

·        Untuk mengetahui persepsi klien tentang keadaannya sehingga dapat diberikan informasi dan intervensi yang tepat

·        Berguna untuk memelihara posisi fungsionak dari ekstremitas dan mencegah komplikasi kontrktur

·        Mobilisasi dini akan mengurangi komplikasi dan meningkatnya penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.

 

DP III  : Resti gangguan integritas kulit; dekubitus berhubungan dengan tirah baring lama.

Tupan : Dekubitus tidak terjkadi.

Tupen : Tidak terdapat tanda kemerahan pada daerah yang tertekan.

              Kulit tidak lecet.

              Kulit bersih tidak lembab.

 

INTERVENSI

RASIONAL

·        Periksa kulit tentang kebersihaan, perubahan warna, luka atau edema.

 

·        Lakukan perubahan posisi.

 

 

 

 

·        Jaga kebersihan alat tenun dan ganti secara teratur.

 

 

·        Masase pada daerah yang tertekan.

 

 

 

 

·        Bersihkan kulit secara teratur dengan menggunakan air hangat dan sabun.

·        Dengan pemeriksaan tersebut dapat mengetahui sedini  mungkin bila ada tanda-tanda kerusakan kulit.

·        Kulit yang mendapat penekanan, sirkulasi darahnya kearea tersebut menjadi lancar dengan adanya perubahan posisi.

·        Alat-alat tenun yang bersih dapat mengurangi resiko kerusakan kulit dan mencegah masuknya mikroorganisme.

·        Masase pada daerah yang tertekan akan merangsang sirkulasi darah pada daerah tersebut sehingga dapat menimbulkan kenyamanan bagi pasien.

·        Sabun mengandung antiseptik sehingga  dapat menghilangkan kotoran dan menjaga kelembaban kulit sehingga integritas kulit dapat terjaga.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Gail Wiscarz Stuart and Sandra J, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1998.

Doengoes E. Marilynn, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

 


DAFTAR ISI


 Halaman

KATA PENGANTAR .....................................................................................         i

DAFTAR ISI.....................................................................................................        ii

FRAKTUR

I.                     Definisi ..........................................................................................        1

II.                   Etiologi ..........................................................................................        1

III.                  Type Fraktur  ................................................................................        1

IV.               Tanda dan Gejala ........................................................................        3

V.                 Data Penunjang ...........................................................................        3

VI.               Penatalaksanaan .........................................................................        3

GIPS

I.                     Pengertian ....................................................................................        6

II.                   Tujuan Pemasangan Gips  .........................................................        6

III.                  Indikasi Dan Kontra Indikasi Pemasangan Gips .....................        6

IV.               Jenis-Jenis Gips. .........................................................................        6

V.                 Pemasangan Gips .......................................................................        7

VI.               Pelepasan Gips ...........................................................................        8

TRAKSI

I.                     Pengertian.....................................................................................        9

II.                   Fungsi ...........................................................................................        9

III.                  Metode Traksi ..............................................................................        9

IV.               Macam-macam Traksi ................................................................      10

V.                 Prinsip Traksi Efektif ...................................................................      10

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR............      11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................      16

 

 

Blogged with the Flock Browser